Kuantitas Versus Kualitas Film Indonesia

Share

Selama beberapa tahun terakhir semakin banyak film karya sineas Indonesia mewarnai dunia perfilman Indonesia. Dimulai dari satu film, lalu memacu para kreator film lainnya untuk mencoba unjuk gigi membuat film baru. Perfilman Indonesia yang pernah mengalami “krisis” lalu sempat mengalami vakum, telah bangkit dan membuktikan eksistensi dirinya.
Berbicara film, pasti berbicara genre atau tema pokok sebuah film. Bila kita lihat, perkembangan film Indonesia bergerak dalam beberapa genre saja. Bahkan mayoritas film Indonesia hanya seputar, cinta, cinta, dan cinta atau genre lain seperti horor dan komedi.
Apa iya, tema film hanya berdasarkan cinta, horor, atau komedi? Bukankah banyak masalah atau tema yang dapat diangkat dalam sebuah film selain genre tersebut di atas?
Tidak dipungkiri, secara kuantitas, film Indonesia sudah sangat banyak jumlahnya. Bahkan apabila kita berkunjung ke bioskop, hampir semua film yang ditayangkan adalah film Indonesia. Coba bandingkan dulu, sekitar 5-4 tahun yang lalu?
Secara implisit, hal ini merupakan kemajuan pesat yang dapat diancungkan jempol!Ini membuktikan bahwa para sineas Indonesia telah “bangun” kembali dan bekerja keras untuk berkarya demi memajukan perfilman Indonesia.
Tetapi, apakah film-film tersebut telah memiliki tujuan yang “mulia”?atau hanya sekedar kepentingan komersil semata? Karena ironisnya, banyak film yang hanya “bombastis” pada judulnya saja, untuk menarik perhatian penonton. Hal ini dilakukan agar film tersebut laku keras di pasaran.
Contoh saja film yang berjudul “Maaf Saya Menghamili Istri Anda”, Extra Large”, “ML (Mau Lagi), dan masih banyak lagi. Judul-judul film ini dibuat sedemikian rupa agar para penonton tertarik untuk membeli tiket kemudian menontonnya. Padahal, terkadang isi ceritanya malah jauh dari kesan “wah” yang ingin ditampilkan dalam judul.
Apalagi, film-film tersebut justru hanya menawarkan rasa “vulgar” yang sangat ditonjolkan oleh sang sutradara, yang ditampilkan dalam adegan-adegan “tidak penting” yang hanya memamerkan sex.
Tentu saja, langsung maupun tidak langsung, film berjenis seperti itu dapat memberikan efek negatif bagi penontonnya. Memang, dalam poster film telah dicantumkan “hanya untuk dewasa atau untuk 18 tahun ke atas”. Tapi, apakah ketika anak di bawah umur dilarang masuk studio bioskop? Atau apakah ada pemeriksaaan kartu tanda pengenal terlebih dahulu?
Ironis memang, tetapi, kita sebagai penikmat film “mungkin” hanya bisa menggelengkan kepala atau protes akan hal ini. Dan pada akhirnya harus ada “kaum” yang melakukan “sesuatu” terhadap masalah ini. Apakah lembaga sensor film, para sineas film, atau para kritikus film?

1 komentar:



Dh0ni mengatakan...

wahhh.. kalo Pak Tung membaca ulasan yang ringan dari artikel kamu ini non, mungkin dia komat-kamit menyuarakan kata2x saktinya,, dahsyat! dahsyat! dan dahsyat!!.. (takbirnya pak tung kalo lagi seminar tuh!!)
bukannya karena dahsyat si penulisnya (siapa ya??), tapi kualitas tulisan yang kamu buat.. ringan, empuk dan enak (nggak ngebahas daging steak ya!!).. dan ini menarikk, karena pada kenyataanya keberadaan film yang ada saat ini memang lebih banyak yang jauh dari berkualitas. meskipun kalo saya mau bertanya "apakah sineas2x kita saat ini sudah capek atau bosen membuat film2x berkualitas??! atau hanya sekedar politik dagang sapi???" hufff,, silahkan anda sendiri yang menjawabnya.. tapi jangan menduga2x ya.. hehe.
tapi lagi lagi aq berikan nice untuk kamu!!!.. semangat!

Posting Komentar